Kupang. Spektrumnasional.com || Belakangan ini, masyarakat dihebohkan dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Resopon terhadap isu ini datang dari berbagai pihak, secara khusus para aktivis dan mahasiswa. Respon ini lahir dari kegelisahan yang cukup serius terhadap pasa-pasal Undang-undang yang sangat mungkin “membungkam kebebasan”.
Memang, poin-poin Undang-undang yang berkembang ditangan pembaca dan masyarakt luas, masih bersifat rancangan dan belum ditetapkan. Kendati demikian, respon sekaligus kritik terhadap pasa-pasal tertentu yang dianggap tidak penting untuk dirancang sudah mulai disuarakan oleh para aktivis sosial dan mahasiswa. Tindakan tersebut sesungguhnya merupakan “alaram” atau warning bagi pemerintah (Legislatif dan Eksekutif) untuk mempertimbangkan berbagai hal terkait pengesahan pasal-pasal undang-undang Hukum Pidana itu.
Ada keberatan yang cukup serius pada aras akar rumpun atau Civil Society bahwa RKUHP yang telah disusun tidak menempuh jalur yang demokratis sekaligus melahirkan konsekuensi praktis yang sungguh mencederai dan membungkam kebebasan demokrasi. Oleh karena itu, berangkat dari gagasan-gagasan tersebut, penting untuk menganalisa proses perancangan RKUHP dan poin-poin Undang-undang Hukup Pidana yang telah dirancang berdasarkan konsep keadilan Sosial Menurut Jurgen Habermas dan John Rawls.
Keadilan Sosial Menurut John Rawls
Dalam bukunya yang berjudul A Theory of Justice yang pertama kali terbit pada tahun 1971, Rawls menegaskan bahwa keadilan adalah nilai yang paling utama dalam suatu pranata sosial dan bahwa hukum serta pranata sosial lain walaupun sedemikian efisien dan amat tertib haruslah direformasi atau dihilangkan apabila mereka tidak adil. Masyarakat dalam pandangan Rawls memiliki aturan-aturan dalam bersikap tindak yang mengikat anggotanya dan diasumsikan bahwa aturan-aturan tersebut didesain untuk mendatangkan kebaikan bagi masyarakat itu sendiri. Namun demikian, oleh karena individu pada dasarnya bersifat egois, cenderung menginginkan lebih banyak untuk dirinya daripada untuk orang lain, maka kehidupan bermasyarakat tidak dapat lepas dari konflik kepentingan antar individu.
Untuk mengatasi konflik kepentingan tersebut dan mewujudkan tujuan hidup bermasyarakat (social ends), Rawls berpendapat perlu adanya serangkaian prinsip yang disebutnya prinsip keadilan sosial, yang memberikan cara untuk menentukan hak dan kewajiban dasar apa saja dari tiap individu dalam masyarakat, serta mengalokasikan keuntungan dan beban secara tepat terhadap tiaptiap individu berkaitan dengan peran dan tanggungjawab sosialnya. Selanjutnya Rawls juga menegaskan bahwa selain memiliki fungsi distributif tersebut, prinsip keadilan sosial harus diterapkan untuk mengatasi permasalahan koordinasi, efisiensi, dan stabilitas yang ada di masyarakat.
Rawls juga memandang bahwa apabila aturan-aturan yang berkaitan dengan pranata sosial utama di dalam masyarakat digantungkan semata-mata pada prinsip utilitarian, maka anggota masyarakat yang “kecil dan lemah” akan selalu menjadi korban ketidakadilan dan hal tersebut tidak dapat ia terima. Oleh karenanya, Rawls berpandangan bahwa dalam membuat aturan-aturan yang berkaitan dengan pranata sosial utama di dalam masyarakat, yaitu konstitusi politik dan aturan terkait kehidupan sosial yang mendasar, penetapan hak dan kewajiban yang fundamental bagi masyarakat haruslah berlandaskan pada suatu prinsip keadilan, yang tidak dapat dikesampingkan oleh tawar-menawar politik. Rawls kemudian menyebut prinsip keadilan yang digunakan untuk menyusun atau mengevaluasi pendistribusian hak dan kewajiban yang fundamental dalam masyarakat tersebut sebagai prinsip Keadilan sebagai Fairness.
Rawls kemudian mengemukakan 2 (dua) prinsip keadilan. Prinsip pertama esensinya adalah setiap orang memiliki hak yang sama untuk memperoleh kebebasan yang mendasar. Prinsip kedua yang disebutnya prinsip pembedaan (difference principle) esensinya adalah ketidaksetaraan dalam hal sosial masih dimungkinkan hanya jika ketidaksetaraan itu secara beralasan memberikan manfaat untuk semua orang dan jika peluang untuk menduduki jabatan atau mendapat pekerjaan terbuka untuk semua orang.
Keadilan Sosial Menurut Jurgen Habermas
Berbeda dengan John Rawls, Habermas tidak menyebut secara eksplisit gagasannya sebagai suatu konsep mengenai keadilan sosial. Namun karena gagasan paradigma hukum proseduralis yang disampaikannya adalah sebuah anti-tesis terhadap teori keadilannya Rawls, dapatlah dikatakan bahwa gagasan Habermas tersebut sesungguhnya masih dalam konteks konsep keadilan sosial. Beberapa kata kunci yang selalu digunakan oleh Habermas adalah otonomi pribadi, otonomi publik, proses demokratik, dan legitimasi.
Habermas sangat kritis terhadap paradigma liberalis. Baginya, paradigma liberalis membuat manusia tega untuk menindas manusia lain. Hanya kaum elit yang berperan dalam menentukan urusan-urusan publik, terutama berkaitan dengan penyusunan perundang-undangan yang diberlakukan terhadap mereka. Hal tersebut menurut Habermas merupakan permasalahan penting, karena menurutnya, “warganegara dapat disebut otonom secara politik hanya jika mereka dapat melihat dirinya secara bersama-sama sebagai penyusun perundang-undangan yang mana dalam aturan tersebut mereka menjadi subyek hukum yang diatur” (citizens are politically autonomous only if they can view themselves jointly as authors of the laws to which they are subject as individual addressees).”
Habermas kemudian mengusulkan paradigma hukum proseduralis yang ia harapkan dapat memberikan atau menjamin perlindungan terhadap otonomi pribadi maupun otonomi publik/otonomi politik, serta menjadi sarana untuk terpenuhinya kesejahteraan individual sekaligus kesejahteraan sosial. Namun Habermas tidak memberikan saran hak dasar apa saja yang perlu ada dan bahkan ia tidak berasumsi bahwa pemenuhan hak dasar harus selalu diatur dalam suatu perundang-undangan, tetapi ia menekankan bahwa pengaturan yang berkaitan dengan hak dari warga negara harus disusun dengan prosedur yang mana warganegara yang bersangkutan harus didengar pendapatnya dan ikut menentukan substansi aturan tersebut.
Habermas menekankan perlu adanya prosedur partisipasi warganegara, terutama yang kecil, lemah dan minority, dalam penyusunan suatu perundang-undangan, karena menurut-nya prosedur tersebut merupakan proses demokratik yang menentukan legitimasi suatu perundang-undangan. Faktor legitimasi untuk Habermas sangat penting, karena sifat positivistis dan koersif dari aturanaturan hukum menurut Habermas berakar pada faktor legitimasi tersebut. Uniknya, Habermas tidak mengusulkan suatu bentuk masyarakat yang ideal yang menjadi tujuan pendistribusian hak-hak dasar di dalam hukum, sehingga cakupan hak dasar tersebut menjadi dinamis mengikuti wacana dan dialektika yang berkembang dalam proses demokratik penyusunan perundang-undangan. Habermas juga tidak membatasi pengaturan hak-hak dasar tersebut hanya pada satu aturan tertentu saja, yaitu konstitusi, sehingga hak-hak dasar yang berkaitan dengan kesejahteraan individual dan kesejahteraan sosial/politik tersebut dapat dilindungi baik melalui suatu sarana aturan hukum (rule of law) maupun melalui prinsip-prinsip yang berfungsi sebagai aturan hukum.
RKUHP menurut prinsip keadilan sosial Jurgen Habermas dan John Rowls
John Rowls menegaskan idenya tentang keadilan dengan mengemukakan suatu prinsip keadilan yang kerap disebut sebagai keadilan distributif. Bagi Rawls, hanya dengan mengedepankan keadilan distributif, semua warga masyarkat memiliki hak yang sama dalam pranata Sosial dan setiap peraturan perundang-undangan dapat mengakomodir kepentingan semua warga masyarakat. Dengan demikian, produk perundang-undangan tidak hanya mengakomodir kepentingan penguasa dan menjadi produk eksklusif kekuasaan, melainakn ia produk bersama demi kepentingan masyarkat umum.
Selanjutnya, Jurgen Habermas memberi gagasan yang lebih prinsip yang ia sebut dengan hukum proseduralis. Paradigma Hukum proseduralis yang ditegaskan oleh Habermas sesungguhnya berangkat dari idenya yang terkenal yakni Demokrasi Deliberatif. Bagi Habermas, dalam penyusunan perundang-undangan, pertimbangan yang pentig adalah partisipasi masyarakat sebagai wujud kebebasannya. Partsipasi masyrakat (Keadilan partisipatif) sebagai wujud kebebasannya merupakan hak yang sangat eksistensial.
Bertolak dari gagasan Rawls dan Habermas diatas, dan jika menelisik lebih dalam terhadap Rancangan Kitab Perundang-undangan Hukum Pidana (RKUHP) yang telah disusun sesungguhnya merupakan produk undang-undang yang tidak distributif dan partisipatif. Dalam penyususnan aturan perundang-undangan, seharusnya mengakomodir kepentingan masyarakat dan ditempuh berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang adil bagi semua orang. beberapa poin dalam RKUHP sesungguhnya lebih mengakomodir kepentingan penguasa dan disusun berdasarkan keinginan para poenguasa, bukan masyarkat. Pada satu sisi, poin-poin dalam RKUHP berupaya untuk mengatur masyarakat agar bertindak secara teratur. Tetapi, pada sisi lain RKUHP tersebut menekan kebebasan dan hak warga masyarakat sebagai mitra kritis sekaligus Agent of Control.
Kesimpulan
Rancangan peraturan perundang-undangan seharusnya berdasrkan hukum proseduralis menurut Habermas. Sebab, hanya dengan demikian masyarkat dianggap sebagai subjek hukum dan peraturan perundang-undangan yang disusun dapat mengakomodir kepentingan semua orang (Keadilan Prosedural). Selain itu, dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pranata sosial, ia harus bersifat distributif menujrut Rawls. Hanya dengan paradigma keadilan distributif, peraturan perundang-undangan itu menjadi bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara tanpa “mencangkok” dan membungkam kebebasan masyarakat. Kebebasan adalah prinsip eksistensial yang dimiliki oleh manusia. jika kebebasan diatur dengan berbagai rupa, maka masyarakat (manusia) hanya akan menjadi benda mati (Objek aturan bukan subjek aturan). RKUHP yang cacat prosedural dan mengeksploitasi kebebasan harus ditolak demi keadilan dan kepercayaan soasial (Social Trust).
Oleh: Putra Umbu Toku Ngudang
Ketua DPRD Kabupaten Sukabumi, Budi Azhar Mutawali, S.Ip, menghadiri acara pisah sambut Komandan Kodim (DANDIM) 0622/Sukabumi dari Letkol Kav. Andhi Ardana Valeriandra P, S.H., M.Si. kepada Letkol Inf. Agung Ariwibowo, S.Hub.Int.
Jakarta. spektrum-nasional.com || – Setelah lama tak terdengar kabar, mantan anggota DPR RI Dr. Nurhayati Ali Assegaf sekarang tengah sibuk dengan kegiatan pemberdayaan dan pendidikan perempuan di kancah internasional. Perempuan yang pernah mendapat
Rilis Lebih dari 14 Single, Zahra Zee Siap Jadi Ikon Lagu Anak Indonesia